Monday, November 30, 2020

Sinopsis Novel Roman Sang Waraney karya Hence Makalew (dengan nama pena Hans Liberty Makalew)




Mengetahui bahwa mereka tengah terkepung dari berbagai penjuru oleh pasukan Kerajaan Belanda beserta aliansinya setelah kehabisan mesiu dan semakin menipisnya bahan makanan, para pejuang Maesa yang telah bertahan selama hampir setahun di balik tembok kayu Benteng Tondano serta merta menyadari bahwa mereka sedang berjuang dalam peperangan yang tak akan mereka menangkan. Namun bagaimanapun juga, perjuangan ini adalah perjuangan sepenuh hati sedari awal hingga akhir. 

Sebuah novel epik dalam balutan romansa yang mengusung tema tentang semangat Maesa yang kembali dinyalakan dan berkobar di dalam sanubari para waraney (pejuang) gagah berani dalam upaya memulihkan, menjaga dan memperjuangkan kehormatan serta harga diri bangsa Minahasa dari rongrongan pemerintah kolonial Belanda yang terkisahkan melalui perjalanan hidup seorang anak sebatang kara bernama Tole dalam menemukan jati diri, keluarga, persahabatan dan cinta. 

 

(Berdasarkan roman berjudul 'Maesa!' karya Hence Makalew)

Friday, March 4, 2016

Sejarah Maesa, Spanyol, Belanda, Inggris dan Bajak Laut Manguindanao di Malesung



Malesung adalah sebuah daerah yang berada di bagian timur laut pulau Celebes. Daerah yang banyak mengandung mineral ini dikelilingi oleh hutan tropis yang cukup luas. Keadaan topografi Malesung terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi, dataran pantai, bukit–bukit, pegunungan, lereng dan gunung. Cakupan wilayahnya meliputi juga beberapa pulau, seperti: Bunaken, Manado Tua, Mantehage, Nain, Siladen, Gangga, Lihaga, Bangka, Lembe, Pakolor dan beberapa pulau kecil lainnya di sekitar jazirah Celebes bagian utara.

Ada sembilan suku pribumi yang mendiami Malesung, yaitu; Babontehu (mendiami Manado, pulau ManadoTua, pulau Bunaken, pulau Mantehage dan pulau Gangga), Bantik (mendiami Singkil, Tongkaina, Malalayang dan daerah sepanjang pesisir pantai utara dan barat), Tonsea (mendiami Tonsea, Kalabat di atas dan Likupang), Tombulu (mendiami Tomohon, Sarongsong, Tombariri, Kakaskasen, Ares, Negeri Baru, Kalabat di bawah dan Manado), Tolour (mendiami Tondano Tuoliang, Tondano Toulimambot, Kakas dan Romboken), Tountemboan (mendiami Langowan, Tompaso, Kawangkoan, Sonder, Rumoong dan Tombasian), Tonsawang (mendiami Tombatu dan Touluaan), Pasan (mendiami Ratahan) dan Ponosakan (mendiami Belang). Kesembilan suku ini memiliki wilayah kekuasaannya masing-masing dengan batas-batas wilayah yang telah ditentukan oleh para leluhur mereka. 

Ada tiga golongan masyarakat di dalam setiap suku di Malesung, yakni; Tonaas (golongan orang yang memiliki kecakapan, kemampuan dan keterampilan tertentu yang berhubungan dengan pengurusan suku), Walian (golongan pemimpin spiritual agama suku/alifuru) dan yang terakhir adalah golongan masyarakat biasa.

 Dalam satu wilayah suku terdapat beberapa Walak (distrik) yang dipimpin oleh Ukung Tu’a (Kepala Distrik) masing-masing, dan di dalam setiap Walak terdapat beberapa Wanua (pemukiman) yang di pimpin juga oleh masing-masing Ukung (Kepala Pemukiman). Setiap Ukung dipilih oleh warganya berdasarkan penilaian atas kemampuannya dalam mengurus marga, juga memiliki keberanian, ketekunan dan keuletan dalam menghadapi segala persoalan yang merupakan tantangan marga, dan sanggup merasakan apa yang dirasakan orang lain. Ia juga harus kuat dan dapat diandalkan secara fisik dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh marga, dan sanggup memimpin peperangan, dan menjunjung tinggi martabat marga serta wanua yang dipimpinnya. Ukung dipilih dari golongan Tonaas.Ukung Tu’a dipilih di antara para Ukung oleh para Ukung se-wilayah per-Walak-an itu sendiri. 

Dalam setiap wilayah suku terdapat berhektar-hektar lahan pertanian sawah dan ladang. Hasil-hasil alam yang bermanfaat bagi manusia, seperti; rempah-rempah, buah-buahan, sayuran, padi, tanaman obat, kayu dan rotan adalah komoditi yang banyak ditemukan di Malesung, selain juga hewan-hewan buruan, hasil laut dan tangkapan di danau. 

Di sepanjang daerah pesisir pantai Malesung terdapat beberapa dermaga yang menghubungkan Malesung dengan dunia luar. Dermaga-dermaga ini terletak di Amurang (Tontemboan), Tanawangko (Tombulu), Manado (Babontehu dan Bantik), Likupang (Tonsea), Kema (Tonsea), Atep (Tolour) dan Belang (Ponosakan). Sebelum orang Eropa datang di Malesung, penduduk setempat telah menjadikan dermaga sebagai salah satu pusat kegiatan ekonomi. Mereka membuka diri terhadap pedagang-pedagang dari luar, seperti dari kerajaan Sangihe, Siau, Talaud, Maluku, Makassar, Bone, Gowa-talo, Jawa, India dan Cina. 

Pada abad keenam belas pelaut-pelaut Spanyol di bawah bendera perusahaan dagang Tasikela Pax Lusitania memasuki pelabuhan-pelabuhan di Malesung. Perusahaan dagang yang memiliki pasukan bersenjata ini berdagang dengan penduduk setempat dengan sistem barter. Mereka menukarkan bumbu-bumbu, barang-barang dan benda-benda berharga bawaan mereka dengan hasil bumi Malesung. Mereka diterima dengan baik oleh orang-orang di Malesung, dan diberikan izin oleh para Ukung untuk menetap di daerah sekitar pelabuhan Manado dan pelabuhan Amurang. Walaupun sebenarnya besaran wilayah mereka di Manado diperoleh dengan cara menipu Dotu Lolong Lasut yang menjabat sebagai Ukung Tu’a Wenang saat itu. 

Mereka menjadikan Malesung sebagai lumbung pangan untuk kepentingan ekspedisi dagang mereka di dunia timur jauh. Hampir selama satu setengah abad lamanya orang-orang Spanyol tinggal di Malesung. Mereka berbaur dengan setiap suku yang ada, dan bahkan menikahi perempuan-perempuannya. Lama-kelamaan orang-orang Spanyol ini mulai memonopoli dan mengatur sistem perdagangan di Malesung. Mereka juga dengan lancang mulai mencampuri urusan-urusan adat. 

Pada abad ke tujuh belas terjadi peperangan antara orang-orang pribumi Malesung dengan orang-orang Spanyol. Saat itu kesembilan suku ini telah mengikat perjanjian untuk bersatu di bawah satu nama Maesa. Peperangan ini terjadi karena orang-orang Spanyol yang datang berdagang itu mulai menindas orang-orang di Malesung. Dalam usahanya itu Maesa mengutus beberapa orangnya ke Maluku untuk meminta bantuan persenjataan dari V.O.C (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang adalah perusahaan dagang milik pemerintah Belanda. Sebagai imbalannya V.O.C meminta pihak Maesa untuk membuatkan benteng bagi mereka di Manado--sebuah daerah pelabuhan yang cukup besar dan ramai di Malesung yang berada dalam teritori suku Tombulu, Babontehu dan Bantik, mereka juga meminta agar orang-orang Maesa nantinya secara berkesinambungan melihara, merawat dan memperbaiki benteng tersebut, termasuk kapal-kapal V.O.C yang rusak, ditambah lagi setiap tahun suku-suku Maesa harus membawa beras ke dalam benteng yang jumlahnya telah ditentukan. Pihak V.O.C berjanji akan menjaga keamanan di Malesung. Mulai saat itu V.O.C dan Maesa terikat oleh perjanjian persahabatan. 

Oleh pemerintah Belanda V.O.C mendapatkan fasilitas berupa pasukan bersenjata. Mereka juga dapat mengadakan diplomasi dengan menggunakan nama pemerintah Belanda dengan kerajaan, negara, bangsa atau suku lain. Saat itu, kebanyakan perusahaan dagang milik kerajaan atau negara di Eropa mendapatkan keistimewaan seperti itu. 

Setelah Maesa berhasil mengusir orang-orang Spanyol keluar dari Malesung, Manado dijadikan wilayah keresidenan di bawah pengawasan Gubernur Belanda di Maluku. Dengan demikian V.O.C menjadikan Manado sebagai pusat Malesung. Orang-orang Belanda mulai tinggal dan menetap di Manado . Mereka berbaur dan berinteraksi dengan orang-orang Maesa, dan bahkan mulai mencampuri urusan-urusan internal Maesa. Hutang pihak Maesa terhadap V.O.C terus ditagih dari generasi ke generasi. Pejabat-pejabat Residen Belanda di Manado juga datang silih berganti salama ratusan tahun dengan membawa misi yang sama, "untuk keuntungan dan kejayaan mereka". 

V.O.C bangkrut dan ditutup pada tahun 1799. Permerintah Bataafsche Republiek Belanda mengambil alih semua aset dan kontrak-kontrak milik V.O.C. Keresidenan Manado yang sudah berada di bawah kekuasaan Bataafsche Republiek Belanda masih juga menuntut pembayaran hutang tersebut. Bahkan di tahun 1803 setelah sistem pemerintahan Belanda telah berubah dari Bataafsche Republiek menjadi Kerajaan Belanda hutang tersebut masih tetap ditagih.


Tahun 1806 di awal bulan Juli, dua buah kapal Inggris yang dipimpin oleh Kapten Charles Elphinstone tiba-tiba muncul di teluk Manado , dan membakar sebuah kapal milik Kerajaan Belanda. Kapten Elphinstone kemudian memberikan surat ultimatum kepada Residen Carel Ch. Predigger untuk menyerahkan benteng Niew Amsterdam. Residen Predigger membalas suratnya dengan nada menantang, tetapi kemudian Kapten Elphinstone tidak melayaninya dan pergi meninggalkan teluk Manado . Sebenarnya Kapten Elphinstone telah menyuplai persenjataan kepada orang-orang dari anak suku Tondano Touliang di pantai Atep. Mereka menukarkan persenjataan berupa senapan, mesiu dan meriam tersebut dengan hasil-hasil pertanian dan hutan.

Bersambung...

Wednesday, August 21, 2013

(:

We stand on faith of Jesus Christ,
because we heard and learnt about Him,
we know and experience Him,
then we worship and work in His field.
These all we called grace.

Saturday, November 3, 2012

My Quote

Keep the serenity, faith, strength, joy and spirit.

Wednesday, August 22, 2012

:)

Tuhan Yesus mengasihiku.

Saturday, October 22, 2011

Dear an Angel

I know that you'll read this someday...
Forgive me..for the twelve winters in vain...
and I'm so sorry about this twelve years belated apology...
Wherever you are, I pray for your happiness..sister...

With all my love & care...